KKN STAI YPBWI Surabaya

   Bulan Juni lalu, STAI YPBWI Surabaya melaksanakan kegiatan KKN. KKN kali ini cukup unik, karena dilakukan di sebuah daerah yang multi etnis dan agama, tepatnya di Desa Meliling Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan Bali. 

   Meski pengalaman perdana, mahasiswa berangkat dengan raut mukanya yang tenang-riang; mereka bersemangat melaksanakan kegiatan di salah satu daerah yang menjadi ikon toleransi di Indonesia.

Kita tau, KKN itu penanda mahasiswa diajak membumi; menanggalkan egoisme dan menyesuaikan atribut ”pribumi”. Kata kuncinya adalah “rendah hati”, karena ia akan menentukan keberhasilan.

   Mahasiswa boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi, tapi tak boleh tampak seperti orang yang “tinggi”. Di lokasi, mereka tak disebut ”mahasiswa” penuh. Mereka adalah ”komunitas” yang menjadi bagian masyarakat Meliling yang kental akan pluralitas.

Bersama Kita Bisa

   Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) STAI YPBWI Surabaya menulis sejarah baru. Lembaga ini telah menggabungkan pengabdian mahasiswa dan dosen sekaligus. Pengabdian kolaboratif yang dilakukan tanpa mengganti “bungkus”.

   Mahasiswa dan dosen merasakan, menyadari, betapa pentingnya kolaborasi saat ini. Mereka pun kompak. Sebab, memang tak ada sukses tanpa proses, dan tak ada proses yang mengkhianati sukses.

   Syahdan, tiap malam, sepenuh hati mereka menyanyikan Mars. Dan, kata-kata sihir soliditas itu agaknya telah terpahat: “bersama kita bisa”.

Analisis Sosial

   Selain melaksanakan kegiatan fisik seperti kerja bakti hingga bakti sosial, mahasiswa juga melakukan kegiatan survey dan observasi lapangan. Mahasiswa melaksanakan Analisis Sosial (Ansos); sebuah konsep baru LPPM.

   Ansos adalah bagian dari subyek yang bergerak untuk menjawab “rasa penasaran”. Dengan kata lain, subyek yang lahir dari dunia akademis-sosial, akan menjadi solusi dari beragam tanya. Mahasiswa harus berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda tapi disebut ”sesama”.

   Maka, analisis sosial bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri. Ia adalah bentuk kinerja nalar kritis mahasiswa. Itu sebabnya mahasiswa harus “peka”.

   Tentu, analisis itu sikap yang tak berpihak. Ia bukan partisan. Tapi di sebuah desa di mana ada masyarakat yang berbeda, kinerja intelektual harus berpadu dengan sosial-emosional. “Saya” harus menjadi “kami”, dan “kami” harus menjadi “kita”. Sebuah pengalaman berharga yang sarat makna.

Penyuluhan

   Semangat pengabdian telah membuat dosen, sebagai peneliti yang mengajar, jadi panggilan yang menggugah. Sebab, bukan ”aku mengabdi, maka aku ada”, melainkan: ”aku mengabdi, maka kita ada”.

   Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Jika definisi ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan yang lain sebagai saudara dalam sebuah “rumah”. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada.

Dari sini solidaritas lahir, dan pengabdian—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit.

   Agenda penyuluhan menunjukkan bahwa pengabdian penting untuk gerak perkembangan. Pengabdian tak bisa sepenuhnya terwakili oleh organisasi dan identitas apa pun. Ia harus menjadi bagian integral dari sebuah individu-individu yang berpadu.

   Empat Program Studi (PAI, PIAUD, PGMI, dan Ekonomi Syari’ah) melaksanakan penyuluhan secara paralel. Kurang lebih ada 100 (seratus) peserta hadir. Agenda itu dibentuk sebagai sejarah yang diharapkan berlanjut setelah itu. Sebab  pengabdian sebagai bagian dari tridharma tak hanya terbatas pada satu waktu. Ia harus terus berjalan, harus kontinyu.

—————————————————-

—————————————————-

   KKN adalah sebuah proses: ia lahir sebagai laboratorium pembelajaran kehidupan di tengah-tengah masyarakat. KKN mengasah kecerdasan sosial dan emosional. Pada saat yang sama, kegiatan ini menjadi sarana pembelajaran mengidentifikasi dan mencari solusi atas problem sosial.